Senin, 29 November 2010

TIBA-TIBA

Tiba-tiba semua merasa tahu, “Jangan yang itu, bisa sakit kamu.”
Tiba-tiba semua merasa benar, “Mau kemana kamu? Disitu tak aman.”
Tiba-tiba semua merasa pintar, “Halah, yang seperti itu aku juga pernah, dulu.”
Tiba-tiba semua berteriak, “Hei, hentikan bicaramu. Dengarkan aku!”
Tiba-tiba semua menjatuhkan palu, “Laknat kamu!”

Tiba-tiba terasa sesak, “Haruskah berteriak untuk didengar dan melupakan kalau kata bukan hanya untuk keras diucapkan tapi untuk dimaknai lebih dulu?”
Tiba-tiba terasa pusing, “Kenapa harus memaksakan suara yang memang tak pernah dan tak untuk disamakan?”
Tiba-tiba merasa lelah, “Jika semua berteriak, siapa yang mendengar?”
Tiba-tiba muak, “Jika semua dijejalkan, kapan bisa belajar? Sedang rasa tak hanya untuk digambarkan tapi dirasai.”
Tiba-tiba ingin berontak, “Maka laknatlah jika pilihan ini begitu sulit dimengerti.”

Tiba-tiba semua diam, tak lama, karena bibir memang untuk bicara dan kata tak semudah itu dipenjara
Tiba-tiba otak berputar, entah berpikir, apakah setuju atau tak setuju, ikut-ikut atau berlalu
Tiba-tiba mengobok-obok, tentang A dan Z, satu atau sepuluh, kawan atau musuh
Tiba-tiba bergerombol, kamu disitu, aku disini, sebagian berkelompok, sebagian berdiri, sendiri
Tiba-tiba lupa diri, memaki juga menyumpahi, dan turunlah laknat pada manusia yang katanya tak tahu diri

Bukan tiba-tiba jika kemudian ingin pergi, tak ingin ada suara, tak ingin berkata
Bukan tiba-tiba jika memilih lari, suara mengejar, kata-kata menghantui
Bukan tiba-tiba jika memilih bisu, terlalu sesak, tak juga bisa keluar
Bukan tiba-tiba jika memilih mati, hapuslah satu wajah dengan seribu kata juga suara yang telah beku
Dan tiba-tiba semua hanya tinggal nama, yang terkenang sebentar kemudian hilang bagai debu

Surabaya, 29 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar