Kamis, 13 Oktober 2011

Laki-Laki Tua Penjual Balon




Pagi yang kesiangan, entahlah, matahari belum tinggi disini tapi teriknya jangan ditanya
Kutemui laki-laki tua itu dalam sebuah angkot
Duduk di pojokan dengan mata berat menahan kantuk
Tangannya mengenggam untaian balon
Umurnya, kutaksir tujuh puluhan
Kerut di wajahnya juga ringkih tubuh kecilnya yang membuatku merasa benar dengan perkiraanku
Ada yang bilang kerasnya hidup memakan badan, membuat orang terlihat lebih tua dari aslinya
Ya, aku tidak lupa itu

Kulirik dia dan langsung pikiran ini disergap malu
Sempat berpikir merogoh kantong celanaku
Ah, tentu tak akan kulakukan
Itu hanya akan menjadi penghinaan baginya
Aku tidak akan menghinanya dengan menyodorkan selembar kertas
Kalau dia mau bisa saja dia berdiri di bawah lampu merah menengadahkan tangan pada setiap kendaraan yang berhenti
Atau duduk di pinggir jalan, diam
Aku yakin akan banyak receh dilemparkan di depannya

Angkot berhenti
Seorang perempuan muda dengan dandanan rapi naik
Kulihat dia melirik laki-laki tua penjual balon itu
Dia memandangku sekilas
Ah, aku tahu pandangan itu
Tangan perempuan itu bergerak, meraih tas plastik yang dibawanya
Beberapa roti dikeluarkan dari kotak bekalnya lalu dibungkusnya dengan kresek
“Untuk sarapan,” katanya sambil menyerahkan bungkusan itu
Laki-laki tua itu menerimanya
Kemudian lahap dimakannya
“Trimakasih,” kata laki-laki tua itu

Angkot kembali melaju
Menerobos puluhan kendaraan yang lalu-lalang kesetanan
Pagi yang sama, pagi yang kesiangan
Jalanan yang sama dengan wajah tegang, garang tapi juga lelah
Angkotku berhenti, menurunkanku
Pagi ini sampai disini saja, Pak Tua
Kutinggalkan laki-laki tua penjual balon itu terkantuk di pojok angkot yang langsung berlalu, kencang

Senin, 29 November 2010

TIBA-TIBA

Tiba-tiba semua merasa tahu, “Jangan yang itu, bisa sakit kamu.”
Tiba-tiba semua merasa benar, “Mau kemana kamu? Disitu tak aman.”
Tiba-tiba semua merasa pintar, “Halah, yang seperti itu aku juga pernah, dulu.”
Tiba-tiba semua berteriak, “Hei, hentikan bicaramu. Dengarkan aku!”
Tiba-tiba semua menjatuhkan palu, “Laknat kamu!”

Tiba-tiba terasa sesak, “Haruskah berteriak untuk didengar dan melupakan kalau kata bukan hanya untuk keras diucapkan tapi untuk dimaknai lebih dulu?”
Tiba-tiba terasa pusing, “Kenapa harus memaksakan suara yang memang tak pernah dan tak untuk disamakan?”
Tiba-tiba merasa lelah, “Jika semua berteriak, siapa yang mendengar?”
Tiba-tiba muak, “Jika semua dijejalkan, kapan bisa belajar? Sedang rasa tak hanya untuk digambarkan tapi dirasai.”
Tiba-tiba ingin berontak, “Maka laknatlah jika pilihan ini begitu sulit dimengerti.”

Tiba-tiba semua diam, tak lama, karena bibir memang untuk bicara dan kata tak semudah itu dipenjara
Tiba-tiba otak berputar, entah berpikir, apakah setuju atau tak setuju, ikut-ikut atau berlalu
Tiba-tiba mengobok-obok, tentang A dan Z, satu atau sepuluh, kawan atau musuh
Tiba-tiba bergerombol, kamu disitu, aku disini, sebagian berkelompok, sebagian berdiri, sendiri
Tiba-tiba lupa diri, memaki juga menyumpahi, dan turunlah laknat pada manusia yang katanya tak tahu diri

Bukan tiba-tiba jika kemudian ingin pergi, tak ingin ada suara, tak ingin berkata
Bukan tiba-tiba jika memilih lari, suara mengejar, kata-kata menghantui
Bukan tiba-tiba jika memilih bisu, terlalu sesak, tak juga bisa keluar
Bukan tiba-tiba jika memilih mati, hapuslah satu wajah dengan seribu kata juga suara yang telah beku
Dan tiba-tiba semua hanya tinggal nama, yang terkenang sebentar kemudian hilang bagai debu

Surabaya, 29 November 2010

Senin, 16 Agustus 2010

AMBIL, INI BUKAN PUNYAKU

Seperti sebuah foto yang mulai buram
Serpihan-serpihan coba dikumpulkan
Sakit, yang begini tak juga mudah
Datang di tiap malam, kebisuan tak memberi celah
Tapi jika ini sebuah jawaban
Maka lambaian adalah kenangan
Kata tak pernah murah, tak untuk diobral
Sudahlah, bukankah yang seperti ini yang menguatkan?
Bahwa tak ada yang benar-benar bisa digenggam
Dan berjalanlah kaki menuju mimpi
Yang kadang nyata tapi kemudian menertawai
Setiap harga tak lebih mahal dari apa yang mampu memperkaya diri
Meski usang tetap akan tersimpan
Seperti senyuman, akan terus terbayang
Sebuah lembar dari sekian yang tertulis
Satu episode dari puluhan yang belum tahu kapan habis
Mungkin hanya sebuah koma, mungkin juga titik
Ambil, apa yang memang bukan punyaku ini

Selasa, 20 Juli 2010

Kekasih Bukan Malaikat

Kekasih bukan malaikat, dia hanya bersayap
Bukan pagi, pada sebuah malam
Sayap putih, bertelanjang dada
Tanpa kepala, tak ada rupa
Tak terlihat terbang, tidak juga untuk suara
Ini bukan surga, aku tak ingin bermimpi
Neraka, aku belum mati
Aku bukan malaikat, kutak bersayap
Melayang bukan terbang
Di atas bumi, di bawah langit
Bukan kupu-kupu dalam sebuah taman
Seperti sebuah potret lama, sephia
Kekasih bukan malaikat meski dia punya sayap

Senin, 05 Juli 2010

TERTUTUP LISAN INI

Sekali lagi lisan dihianati, oleh kata yang sering kali disalaharti
Kata yang kemudian terdengar menyakiti, kata yang bahkan tak bisa berdiri sendiri
Dan jari yang terlanjur menunjuk, jari yang lebih tajam dari belati
Tak lagi bisa dihindari, tidak juga untuk ditepis
Maka perlihatkan wajah yang sebenarnya
Hati yang katanya teraniaya, hati yang kemudian justru melukai
Lisan ini pun tertutup, tentu saja dia takut
Karena entah telinga, entah otak, tak juga pintar mencerna
Bukan tentang siapa, bukan tentang lalu
Apa yang ada di kepala, di luar logika
Maka inikah wajah itu?
Sudah tertutup lisan ini
Tak lagi ada kata, biar hanya huruf yang bicara
Seperti apa terbaca?
Biar kulihat wajah itu sebenarnya

Senin, 14 Juni 2010

TITIP MIMPIKU

Bahkan waktu pun tak lagi kumiliki
Sekedar menyapa lalu pergi
Mimpi-mimpi ini kutitipkan padamu
Dan pikiran yang terus berteriak di kepalaku

Ruangku semakin sempit
Untuk setiap gerak tanah harus runtuh
Tak akan kutinggalkan janji
Karena kembali mungkin hanya akan menyakiti

Langit di atas bukan tempatku
Tapi disini pun aku malu
Menanggung dosa yang membebani langkah
Menghapus noda yang tak terjamah

Jika suatu saat ingat namaku
Kenanglah yang membuatmu tersenyum malu
Karena tertawa kadang luka
Dan tangis hanya akan merajam jasadku

Bumi terbuka kuharap mau menerima
Tubuh yang dulu debu juga hina
Tak tahu kapan akhirnya
Tapi foto ini sudah semakin pudar warnanya

Mimpi-mimpi ini kutitipkan padamu
Meski mungkin tak sempat semoga bisa jadi pengingat
Bahwa tawa tak selalu suka
Dan tangis kadang tak butuh air mata